Rabu, Juli 29, 2009

HUBUNGAN PENDIDIKAN JASMANI DAN PEDAGOGI OLAHRAGA

Rabu, Juli 29, 2009 0
Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogy) beragam pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandang sebagai sebuah subdisipIin iImu dalam kerangka iImu keolahragaan.

Di berbagai negara di seluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi olahraga terkait dengan sejarah, yang mencerminkan perbedaan perkembangan secara nasional dan perbedaan konsep, seperti juga perbedaan teori dan paradigma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan bagian terpadu dari semua Subdisiplin ilmu ke olahraggaan (misalnya, sport medicine, sport psychology), namun ada elemen sejarah yang amat khusus yang mengaitkan kedua subdisiplin ilmu keolahragaan, pedagogi olahraga, dari sejarah olahraga (sport history).

Elemen elemen sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi olahraga, secara umum ditekankan pada:

  • semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dari di luar sekolah;
  • dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani;
  • kebijakan pendidikan suatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani;
  • perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler;
  • perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dari tujuan pendidikan jasmani dan olahraga;
  • Tujuan program studi dan lingkup mala kuliah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut;
  • sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi;
  • metode pengajaran, evaluasi dan pengukuran tradisional dari sebagian sudah terlupakan;
  • bentuk bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan, dan lain lain.
Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pieron, Cheffers, dan Barette (1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradigma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/ FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai “induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep/teori terkait dari relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradigma interdisiplin (Matveyev, dalam Rush Lutan, 1988) Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dalam struktur ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973). Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai “pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport, medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rush Lutan, 1998; dalam laporan hasil The Second Asia Pacific Congress of Sport and Physical, Education University President).

Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu “fenomena olahraga dari fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga. Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup dua hal utama: (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoretis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut; dan (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya militer dan drill di beberapa negara, khsusnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoretis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, dan disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalianjiwa dan kemauan.

Lingkup kajian dan layanan pedagogi olahraga tidak terbatas di sekolah tetapi juga di luar sekolah, sehingga bukan hanya peduli terhadap anak anak tetapi juga kepada semua lapisan khalayak sasaran, termasuk kelompok khusus dari orang cacat atau lainnya yang berpartisipasi untuk meningkatkan kondisi fisiologis, mental, atau psikososial. Dalam konteks keterpaduan antar subdisiplin, Wasmund (1972) menjelaskan kaitan antara pedagogi olahraga dan teori pelatihan yaitu pedagogi olahraga untuk menjawab “why” dan teori pelatihan (training theory) untuk menjawab “how”, sehingga interface antara keduanya adalah pada didaktik dan metodik.

Pedagogi olahraga di FPOK Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung misalnya, memanfaatkan filsafat olahraga (sport philosophy) dan sejarah olahraga (sport history) sebagai landasan pokok bagi pengembangan batang tubuh keilmuan pedagogi Pandangan ini, secara independen, pernah dikupas oleh Naul (1986; 1994) yang menyatakan bahwa “perspektif sejarah pedagogi olahraga berkaitan erat dengan sejarah olahraga untuk alasan metodologis.” Karena itu, perspektif sejarah merupakan elemen penting dari kajian pedagogi olahraga, seperti halnya pendidikan jasmani merupakan unsur penting dalam sejarah olahraga.

Memang kita jumpai masalah dalam memahami keterkaitan pedagogi olahraga dengan subdisiplin ilmu lainnya, terutama masalah metodologis yang menempatkan pedagogi olahraga sebagai induk bagi subdisiplin lainnya dalam ilmu ke olahragaan, yang sesungguhnya berakar pada sejarah. Di beberapa negara seperti di Perancis (Andrieu, 1990; Zoro, 199 1); McIntosh, 1968), Swedia (Lindorth, 1993), Belanda (Kramer & Lommen, 1987), dan Amerika Serikat (Bennet, 1972; Spears & Swanson, 1988), dijumpai keragaman aspek sejarah pendidikan jasmani yang muncul dalam penelitian sosiologis dan sejarah. Di negara ini, seperti di negara lainnya, pedagogi olahraga sebagai sebuah bidang kajian akademik tidak berkembang dalam konsep nasional ilmu keolahragaan mereka. Hal ini karena di Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan negara negara Eropa lainnya, konsep “physical education” atau “education physique,” masih dominan penggunaannya, ketimbang pengembangan pedagogi olahraga (Pieron keragaman Cheffers, 1988; dalam Naul, 1994).

Di Indonesia, baik dalam pengertian paradigma pengembangan keilmuannya maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah “embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan. Lebih dari dua dasawarsa, setelah mengenal struktur dasar ilmu keolahragaan dalam International Workshop on Sport Science, 1975 di Bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari Sekolah Tinggi Olahraga se Indonesia dengan nara sumber ahli ahli Jerman Barat (Prof. H. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen, dan Bodo Schmidt), Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema tema diskusi olahraga kompetitif’. di sekitar feri feri ilmu kepelatihan dari sport medicine.

Melalui pendekatan struktural, proses pencarian itu sampai pada tahap kesepakatan tentang sosok, tubuh ilmu keolahragaan, yang antara lain didorong oleh proses percepatan konversi IK113 menjadi universitas. Melalui seminar lokakarya tentang konsep ilmu keolahragaan yang di eclat di IKIP Surabaya (sebelum menjadi Universitas Negeri Surabaya) pada tahun 1998 yang lalu, berhasil diidentifikasi taksonomi ilmu keolahragaan. Hasil seminar nasional itulah yang kemudian melahirkan kurikulum program ilmu keolahragaan yang berorientasi pada kesehatan olahraga dengan bobot muatan sekitar 60% yang IPA. yang mulai dibuka pada tahun 1999, dan lebih signifikan lagi, setelah itu Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan diakui eksistensinya, termasuk ke dalam Komisi Disiplin Ilmu berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang diterbitkan pada tahun yang sama pula.

Sejak tahun 1980 an perubahan memang banyak terjadi di tingkat internasional, terutama di Amerika Utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan “sport pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani (]ini kurikulum pendidikan jasmani mereka sendiri (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan jasmani yang amat rendah di pasar kerja (sekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.

Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradigma interdisiplin intergratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan internasional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari Jerman, tatkala latar belakang filsafat/hermentik dari “teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960 an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).

Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak sepenuhnya benar berasal dari Jerman yang muncul pada tahun 1960 an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga Perang Dunia 1. seperti juga buah fikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dari artikel yang ditulis de Coubertin (Perancis) Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth Jarkowsky (Austria Hungaria), sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulisan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat Olimpiade, dan pokok fikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pedagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berfikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan “body and mind” di Amerika Serikat dan Jerman.

Sejarah pedagogi olahraga mencakup bukan hanya model Inggris yang menekankan etik Kristiani atau model semangat korps dalam olahraga pertandingan dan permainan yang berpengaruh banyak terhadap reorganisasi pendidikan jasmani di sekolah Perancis, Denmark, Jerman, Swedia dan negara Eropa lainnya setelah tahun 1880 an. Seperti juga pernah kita kenal di Indonesia, tiga tokoh besar yang tulisannya, sistem pendidikan jasmaninya, dan metode pengajarannya memperoleh pengakuan internasional di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke 19 ialah:
  • Guthsrnuths (I 7 93) dart Jerman yang berpengaruh di Denmark, Inggris, Swedia, Nederland, Belgia, Italia dan negara lainnya;
  • Pestalozzi (1807) di Swedia, melalui Spies kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan jasmani di sekolah sekolah Jerman, dan Amoros dan Clias berpengaruh terhadap latihan fisik guru guru dan militer pria di Perancis dan Inggris;
  • Per Henrik Ling dan puteranya Hjalmar, bersama dengan para penerusnya Royal Central Institute of Gymnastic di Stockholm, mempengaruhi semua sistem nasional pendidikan jasmani di seluruh Eropa dan Amerika Utara dalam periode yang berbeda beda, yang bermula pada abad ke 19.
Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920 an. Perkembangan ini didukung kuat oleh dokter olahraga yang dikenal di tingkat internasional yaitu Sargent (1906) di Amerika Serikat, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh itu menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metoda alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923). Usaha mereka mendorong terjadinya reorganisasi pendidikan jasmani di negara negara Eropa. Di Perancis, metode alamiah (la methode naturelle) dikembangkan oleh Demeny dan Herbert, dan di Amerika Serikat, di kenal Thomas D. Wood dengan pembaharuan dalam senam, dan di Jerman, Erich Harte menjadi pendukung kuat aliran Austria “Gaulhofer dan Streicher” (1922) yang keduanya dipengarubi oleh senam Denmark dan Swedia. Tulisan dan hasil kuliah Gaulhofer dan Streicher membantu pelaksanaan reformasi pendidikan jasmani di Jerman, Belanda, Inggris, dan negara Eropa lainnya pada tahun 1920 an dan 1930 an (Grossing. 1991; Kramer membantu Lommen, 1987; McIntosh, 1968; dalam Naul. 1994).

Pada masa itu didirikan lembaga pendidikan tenaga guru bertaraf universitas dan diperkenalkan ke dalam dunia akademik yang tumbuh di beberapa negara di Eropa. Namun sekarang, di beberapa negara Eropa itu, masih terdapat perbedaan status akademik pendidikan jasmani dan pendidikan tenaga guru.

Pada tahun 1960 an terjadi perubahan di beberapa negara. Kebugaran jasmani dianggap sebagai bagian penting dari tujuan pendidikan jasmani baik di Barat maupun di Timur, semacam kebangkitan kembali aliran Swedia yang menekankan kebugaran jasmani sebagai tujuan utama, manusia sebagai “mesin” yang harus dibina agar berfungsi dengan baik, sementara landasan ilmiahnya adalah biologi (lihat, Crum, 1994). Aspek performa menjadi bagian yang lebih penting karena berbagai alasan. Pada tahun 1970 an, kebijakan pendidikan jasmani banyak diperbaharui oleh kebijakan negara bagian seperti di Negara negara Eropa.

Tahun 1970 an merupakan puncak perkembangan pendidikanl jasmani dengan peningkatan yang amat dramatis, ditandai dengan perbaikan dalam fasilitas, peningkatan kualifikasi tenaga guru, dan pengalokasian jam pelajaran 3 jam per minggu, di samping pendidikan jasmani harian di SD, sementara di pendidikan tinggi diperkenalkan dari diorganisasi program pemeliharaan kesehatan.

Namun sejak tahun 1980 an terjadi kemunduran pendidikan jasmani pada tingkat global karena pengaruh ekonomi, politik, dan perubahan pada pendidikan itu sendiri. Krisis pendidikan jasmani, seperti yang dimunculkan dalam kongres dunia di Berlin tahun 1999 1 terjadi tidak hanya pada tingkat nasional suatu negara seperti di AS, Australia, Inggris dan Jerman, namun menjadi persoalan akut di bekas negara blok sosialis (Foldesi, 1993; dalam Naul, 1994). Bahkan dalam paparan Ken Hardman pada konferensi internasional di Bangkok diungkapkan yakni tidak banyak perubahan atau kemajuan yang dicapai sebagai implementasi dari Deklarasi Berlin. Konferensi internasional bertema Sport and Education di Bangkok (2005) kembali mengetengahkan isu keterlaksanaan pendidikan jasmani, seperti dipaparkan oleh Ken Hardman, sampai pada kesimpulan yakni tidak banyak perubahan yang dicapai pada tataran praksis. Lahirnya Bangkok Agenda, sebagai “gong” dari konferensi bertujuan untuk mengakselerasi perubahan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan jasmani, yang juga untuk tujuan yaitu peningkatan mutu pendidikan.

Rangkaian pembahasan tentang pemberdayaan pendidikan jasmani ini berlanjut dalam kongres internasional ke 46 ICHPERSD (International Council on Health, Physical Education, Recreation, Sport .md Dance) di Istambul (2006) yang menghasilkan pemikiran tentang visi dan misi baru pendidikan iasmani, termasuk komponen komponen pendidikan jasmani yang dipandang bermutu.

Kamis, Juli 23, 2009

ARAH PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI

Kamis, Juli 23, 2009 0

Setelah mengetahui ruang lingkup dari pendidikan jasmani, selanjutnya guru harus mampu melihat dan menetapkan arah serta sasaran yang akan dikembangkan. Pedoman umum tentang arah dan sasaran ini diuraikan secara garis besar dalam bentuk lima tujuan perubahan yang harus terjadi pada anak didik. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Murid menjadi sadar akan potensi geraknya.

Pembelajaran dalam pendidikan jasmani harus mampu membangkitkan minat anak untuk menggali potensinya dalam hal gerak. Karena itu anak harus diberi dorongan untuk terus menerus menjelajahi kemampuan-kemampuannya. Tugas ini tidak mudah dan hasilnya tidak segera. Dari pertemuan ke pertemuan, mungkin guru hanya akan melihat kemajuan yang lambat, tersendat-sendat, serta seolah berjalan di tempat.
Memang itulah yang harus disadari oleh semua guru penjas. Tidak ada kemajuan dalam hal belajar gerak yang bersifat kejutan. Semua kemajuan mengikuti pola yang teratur. Jangan mengharapkan keajaiban. Harus sabar dan bersikap optimis bahwa murid kita akan mencapai kemajuan. Bila tiba waktunya, jangan kaget jika tiba-tiba guru sadar anak-anak sudah bertambah tinggi dan besar serta semakin terampil gerakannya. Itulah upah dari kesabaran guru dalam mendidik anak. Disitulah guru akan merasakan betapa mulianya tugas guru penjas.

Di pihak lain, sebagai guru kita harus maklum bahwa setiap murid memiliki kekhasannya masing-masing. Ada yang masuk ke kelas dengan bekal seperangkat pengalaman yang memadai dan ada pula yang tidak membawa bekal sama sekali. Artinya, ada anak yang kelihatan mudah dalam mempelajari gerak-gerak tertentu, sementara yang lainnya menemui kesulitan. Ada anak yang gigih ingin bisa, ada juga anak yang mudah menyerah. Perbedaan individual dalam hal kematangan dan pengalaman masa lalunya, menyebabkan kita sulit untuk menyeragamkan kecepatan kemajuan anak-anak dalam hal belajar gerak.

Keluhan-keluhan seperti “saya tidak bisa” atau “ saya tidak berbakat” dan ucapan sejenis lainnya akan sering terdengar dari mulut anak-anak. Bahkan ada anak yang belum mencoba sekalipun sudah mengatakan tidak mau melakukan, karena dia yakin tidak akan berhasil. Bagaimanakah guru seharusnya menghadapi kasus serupa itu? Tentu jawaban dan cara guru harus benar-benar tepat agar tidak kian ‘membenamkan’ anak dalam citra rendah diri yang dibuatnya sendiri. Tanamkan kesadaran pada anak-anak bahwa mempelajari keterampilan dan gerak, bukanlah proses yang tergesa-gesa. Sebab diperlukan waktu dan usaha yang tidak sebentar untuk menguasai sesuatu. Yang penting jangan cepat menyerah. Ungkapan guru seperti, “cobalah lakukan lagi. Kamu bukan tidak bisa, tapi belum bisa”, adalah salah satu ungkapan yang bisa membesarkan hati anak.
Perbedaan anak-anak tersebut harus membuat guru penjas menjadi lebih arif dalam menentukan tugas bagi masing-masing anak. Jangan sampai anak diberi tugas yang seragam dengan kriteria keberhasilan yang sama bagi semua orang. Kenali kemampuan murid, baik per kelompok maupun perorang, agar penentuan tugas mereka bisa disesuaikan. Dengan cara itu anak akan merasa bahwa guru memang mendorong semua siswa untuk mau dan mampu belajar.

2. Murid dapat bergerak dan tampil baik secara meyakinkan

Ketika murid terlibat dalam proses pembelajaran, mereka harus merasakan adanya ‘perasaan mampu’, lancar, dan tidak tersendat-sendat. Perasaan demikian hadir dari adanya rasa aman selama mereka mulai belajar hingga menguasai suatu ketersampilan. Rasa aman tadi, tentu tidak timbul sendiri, tetapi merupakan kondisi yang selalu diciptakan oleh guru. Bagaimana rasa aman bisa timbul dalam pembelajaran penjas?
Rasa aman akan timbul dari situasi belajar yang menyenangkan dan jauh dari keadaan yang menekan dan menegangkan. Keadaan demikian bisa timbul dari tindak tanduk guru yang memang santun, tidak memalukan murid, serta usahanya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lingkungan yang aman. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa guru tidak boleh tegas. Guru harus tegas tapi “hangat” dalam pendekatannya, terutama dalam menerapkan peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya lingkungan yang aman tadi. Lingkungan pembelajaran yang aman akan mendukung kesungguhan dan kemauan anak untuk mempelajari keterampilan hingga taraf penguasaan tertinggi. Anak akan merasa bersemangat untuk terus berlatih, baik secara mandiri maupun berkelompok, sehingga anak merasa yakin untuk menguasai keterampilan yang bisa diandalkan.

Penguasaan yang baik pada keterampilan tertentu akan menumbuhkan hormat diri dan kepercayaan diri anak. Ini timbul dari rasa nyaman ketika menyadari dirinya memiliki kemampuan, serta timbul dari pengakuan guru dan teman-temannya. Karena itu penekanan pada timbulnya ‘perasaan sukses’ ini harus diupayakan oleh guru dengan cara menetapkan tingkat kesulitan tugas yang sesuai bagi setiap anak.

Untuk menciptakan suasana belajar seperti itu guru perlu membedakan tahapan pembelajaran yang akan dilalui anak. Pada tahap awal, guru harus membantu anak; agar mampu memusatkan diri pada proses, bukan pada hasil. Sedangkan pada tahap selanjutnya, guru harus siap untuk meningkatkan taraf kesulitan keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga tingkat kemampuan (kompetensi) dan kepercayaan diri anak turut meningkat pula. Penyajian bahan pelajaran secara bertahap sangat dianjurkan.

3. Murid mengerti dan mampu menerapkan konsep-konsep gerak yang mendasar

Keterampilan dalam berbagai cabang olahraga memiliki struktur tersendiri, lengkap dengan konsep dan prinsip yang mendasarinya. Memahami konsep-konsep itu merupakan syarat untuk menguasai keterampilan yang dipelajari. Semakin terkuasai konsepnya, semakin mudah suatu keterampilan dikuasai.

Pelajaran pendidikan jasmani adalah salah satu tempat untuk meningkatkan kemampuan pemahaman anak terhadap berbagai konsep dasar keterampilan gerak. Kemampuan pemahaman ini akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi siswa untuk menjadi ‘pembelajar’ dalam banyak cabang olahraga ketika mereka menjadi dewasa kelak. Bahkan kemampuan ini dapat ditransfer untuk memahami bidang lain.

Untuk mendukung tujuan tersebut pelajaran pendidikan jasmani harus mampu memberikan kesempatan kepada anak untuk memahami konsep dasar dari berbagai keterampilan yang dipelajarinya.

Metode dan pendekatan yang digunakan oleh guru juga amat menentukan. Penelitian dalam bidang pedagogi olahraga (sport pedagogy) tentang pendekatan induktif, metode pemecahan masalah dan diskoveri terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan anak dalam pengembangan pengetahuan dan penalaran. Pengantar dan dialog yang bersifat terbuka, terbukti dapat memicu keinginan anak untuk turut menyumbang saran dan pendapat yang berguna dalam melatih keberanian anak angkat bicara. Karena itu, guru penjas perlu membiasakan murid dengan acara dialog. Guru hendaknya melatih anak untuk mau bertanya dan bicara mengemukakan pendapatnya, serta jawaban guru harus mencerminkan bahwa pertanyaan tersebut dianggap berharga. Coba Anda bayangkan bagaimana perasaan murid ketika ia bertanya guru malah memperlihatkan muka galak dan menjawab : “Makanya kalau guru ngomong dengarkan. Telinganya dipasang baik-baik, supaya tidak masuk telinga kanan, keluar telinga kiri…..!”

Memang anak tidak selamanya mendengarkan dengan baik. Itu perlu diingatkan. Tetapi cara mengingatkan anak supaya menjadi pendengar yang baik dan menghargai orang yang bicara, bukan dengan pendekatan keras seperti di atas. Bukan saja anak merasa sakit hati dan rendah diri dengan jawaban guru tadi, tapi juga membuat anak-anak yang lainnya tidak berani mengajukan pertanyaan.

4. Murid menjadi orang yang serba bisa dalam gerak

Guru tentu harus melihat bahwa murid bisa mempelajari apa saja yang diperlukannya dalam hal keterampilan gerak. Adalah tindakan tidak bertanggung jawab jika seorang guru cenderung membatasi keterampilan yang harus dikuasai oleh murid-muridnya. Jangan mentang-mentang guru hanya menyukai sepakbola lalu hanya mengajar sepakbola sepanjang tahun. Ini jelas akan merugikan anak. Guru penjas harus mampu melihat keterampilan dasar serta pola gerak dominan yang mendasari suatu cabang olahraga atau suatu permainan. Keterampilan dasar serta pola gerak dominan itulah yang seharusnya ditekankan oleh guru untuk dipelajari oleh anak secara memadai. Alokasikan waktu yang cukup bagi anak untuk mempelajari berbagai keterampilan gerak dasar sehingga membangun suatu dasar yang kuat dan luas bagi peningkatan keterampilan berikutnya.
Memperkaya khasanah gerak anak dalam setiap pembelajaran penjas merupakan tugas prioritas bagi guru penjas, agar kelak anak mempunyai dasar keterampilan yang lengkap untuk memperdalam olahraga apapun. Kalau dasarnya baik, anak akan menjadi orang yang serba bisa dalam bidang olahraga.

5. Murid menghargai olahraga yang menyehatkan

Dalam pembelajaran pendidikan jasmanilah murid harus belajar menyadari hubungan antara kegiatan yang teratur dengan timbulnya perasaan nyaman dan sehat. Dengan kegiatan tersebut murid harus menyadari bahwa dirinya lebih tahan terhadap serangan penyakit dan pengaruh stress. Dengan kesadaran tersebut diharapkan murid selanjutnya akan menghargai kegiatan olahraga sebagai sesuatu yang bermanfaat dan akan memilih mengisi waktu-waktu luangnya di luar sekolah dengan kegiatan yang aktif. Karena itu proses yang ditawarkan guru penjas lewat programnya harus menyebabkan anak mencintai kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga, serta memberikan dasar yang baik bagi kegiatan yang sama di jenjang pendidikan berikutnya dan di masa dewasanya. Hal ini memang tidak mudah, tapi harus diupayakan secara sengaja oleh guru penjas.

Sabtu, Juli 11, 2009

TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENDIDIKAN JASMANI

Sabtu, Juli 11, 2009 0
Tujuan Pendidikan Jasmani
Mata pelajaran Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
  1. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih
  2. Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik.
  3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar
  4. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan
  5. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
  6. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
  7. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.

Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di SMA/MA
Ruang lingkup mata pelajaran Pendiidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
  1. Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya.
  2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya.
  3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya.
  4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya.
  5. Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya.
  6. Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung.
  7. Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.

 
SMANSACIS PENJASKOR. Design by Pocket